ibadah yang dikerjakan saat wanita haidh
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ….
Apa saja ibadah yang dibolehkan bagi wanita di kala haidh? Ada
penjelasan amat bagus dari seorang ulama besar saat ini, Syaikh Kholid
Al Mushlih, murid senior Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin
rahimahullah.
Syaikh Kholid bin ‘Abdillah Al Mushlih hafizhohullah menerangkan:
Haidh dan nifas adalah suatu ketetapan Allah bagi kaum hawa karena
ada hikmah dan rahmat di balik itu semua. Para ulama telah sepakat
(baca: ijma’) bahwa wanita haidh dan nifas dilarang melakukan shalat
yang wajib maupun yang sunnah, serta tidak perlu mengqodho’ (mengganti)
shalatnya.
Begitu pula para ulama sepakat bahwa wanita haidh dan nifas dilarang
berpuasa yang wajib maupun yang sunnah selama masa haidhnya. Namun
mereka wajib mengqodho’ puasanya tersebut.
Para ulama pun sepakat bahwa wanita haidh dan nifas boleh untuk
berdzikir dengan bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (laa ilaha
illallah), dan dzikir lainnya.
Adapun membaca Al Qur’an tentang bolehnya bagi wanita haidh dan nifas
terdapat perselisihan pendapat. Yang tepat dalam hal ini, tidak mengapa
wanita haidh dan nifas membaca Al Qur’an sebagaimana akan datang
penjelasannya. Begitu pula tidak mengapa wanita haidh dan nifas
melakukan amalan sholih lainnya selain yang telah kami sebutkan ditambah
thowaf.
Dalam riwayat Bukhari (294) dan Muslim (1211) dari jalur ‘Abdurrahman
bin Al Qosim, dari Al Qosim bin Muhammad, dari ‘Aisyah, ia berkata,
“Aku pernah keluar, aku tidak ingin melakukan kecuali haji. Namun ketika
itu aku mendapati haidh. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
akhirnya mendatangiku sedangkan aku dalam keadaan menangis. Belia
berkata, “Apa engkau mendapati haidh?” Aku menjawab, “Iya.” Beliau
bersabda, “Ini sudah jadi ketetapan Allah bagi kaum hawa. Lakukanlah
segala sesuatu sebagaimana yang dilakukan orang yang berhaji kecuali
thowaf keliling Ka’bah.”
Dari sini maka hendaklah laki-laki dan perempuan bersemangat untuk
melakukan berbagai kebaikan. Tidak sepantasnya melarang wanita di masa
haidh dan nifasnya dari berbagai kebaikan lainnya karena ini merupakan
tipu daya syaithon.
Mereka hanya terlarang melakukan shalat, puasa, dan thowaf, sedangkan yang lainnya mereka boleh menyibukkan diri dengannya.
Adapun khusus untuk membaca Al Qur’an bagi wanita haidh, maka di sini
terdapat perselisihan di kalangan para ulama rahimahullah. Ada tiga
pendapat dalam masalah ini:
Pendapat pertama: Bolehnya membaca Al Qur’an bagi wanita haidh dan
nifas, asalkan tidak menyentuh mushaf Al Qur’an. Inilah pendapat dari
Imam Malik, juga salah satu pendapat dari Imam Abu Hanifah dan Imam
Ahmad. Pendapat ini juga dipilih oleh Imam Al Bukhari, Daud Azh Zhohiri,
dan Ibnu Hazm.
Pendapat kedua: Bolehnya membaca sebagian Al Qur’an, satu atau dua
ayat, bagi wanita haidh dan nifas. Ada yang menyebutkan bahwa tidak
terlarang membaca Al Qur’an kurang dari satu ayat.
Pendapat ketiga: Diharamkan membaca Al Qur’ab bagi wanita haidh dan
nifas walaupun hanya sebagian saja. Inilah pendapat mayoritas ulama,
yakni ulama Hanafiyah, ulama Syafi’iyah, ulama Hambali dan selainnya.
Imam At Tirmidzi mengatakan bahwa inilah pendapat kebanyakan ulama dari
kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalangan tabi’in
dan ulama setelahnya.
Setiap pendapat di atas memiliki dalil pendukung masing-masing. Namun
yang terkuat menurut kami adalah bolehnya membaca Al Qur’an bagi wanita
haidh dan nifas.
Inilah pendapat yang lebih mendekati kebenaran. Seandainya wanita
haidh terlarang membaca Al Qur’an, tentu saja Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam akan menjelaskannya dengan penjelasan yang benar-benar
gamblang, lalu tersampaikanlah pada kita dari orang-orang yang tsiqoh
(terpercaya).
Jika memang benar ada pelarangan membaca Al Qur’an bagi wanita haidh
dan nifas, tentu akan ada penjelasannya sebagaimana diterangkan adanya
larangan shalat dan puasa bagi mereka. Kita tidak bisa berargumen dengan
dalil pelarangan hal ini karena para ulama sepakat akan kedho’ifannya.
Hadits yang dikatakan bahwa para ulama sepakat mendho’ifkannya adalah
hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu
‘anhu secara marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam),
“Tidak boleh membaca Al Qur’an sedikit pun juga bagi wanita haidh dan orang yang junub.”
Imam Ahmad telah membicarakan hadits ini sebagaimana anaknya
menanyakannya pada beliau lalu dinukil oleh Al ‘Aqili dalam Adh Dhu’afa’
(90), “Hadits ini batil. Isma’il bin ‘Iyas mengingkarinya.” Abu Hatim
juga telah menyatakan hal yang sama sebagaimana dinukil oleh anaknya
dalam Al ‘Ilal (1/49). Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
Fatawanya (21/460), “Hadits ini adalah hadits dho’if sebagaimana
kesepakatan para ulama pakar hadits.”
Ibnu Taimiyah mengatakan dalam Fatawanya (26/191), “Hadits ini tidak
diketahui sanadnya sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits ini
sama sekali tidak disampaikan oleh Ibnu ‘Umar, tidak pula Nafi’, tidak
pula dari Musa bin ‘Uqbah, yang di mana sudah sangat ma’ruf banyak
hadits dinukil dari mereka.
Para wanita di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sudang
seringkali mengalami haidh, seandainya terlarangnya membaca Al Qur’an
bagi wanita haidh/nifas sebagaimana larangan shalat dan puasa bagi
mereka, maka tentu saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan
menerangkan hal ini pada umatnya.
Begitu pula para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengetahuinya dari beliau. Tentu saja hal ini akan dinukil di
tengah-tengah manusia (para sahabat). Ketika tidak ada satu pun yang
menukil larangan ini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tentu
saja membaca Al Qur’an bagi mereka tidak bisa dikatakan haram. Karena
senyatanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang hal ini.
Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak melarangnya
padahal begitu sering ada kasus haidh di masa itu, maka tentu saja hal
ini tidaklah diharamkan.”
Syaikhul Islam telah menjelaskan secara global tentang pembolehan
membaca Al Qur’an bagi wanita haidh dengan menyebutkan kelemahan hadits
yang membicarakan hal itu.
Syaikhul Islam mengatakan dalam Majmu’ Al Fatawa (21/460),
“Sudah begitu maklum bahwa wanita sudah seringkali mengalami haidh di
masa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak ditemukan bukti
beliau melarang membaca Al Qur’an kala itu. Sebagaimana pula beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang berdzikir dan berdo’a bagi
mereka. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan
kepada para wanita untuk keluar saat ied, lalu bertakbir bersama kaum
muslimin. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan kepada
wanita haidh untuk menunaikan seluruh manasik kecuali thawaf keliling
ka’bah. Begitu pula wanita boleh bertalbiyah meskipun ia dalam keadaan
haidh. Mereka bisa melakukan manasik di Muzdalifah dan Mina, juga boleh
melakukan syi’ar lainnya.” Fatwa 22-8-1427
Kesimpulan …
Wanita haidh dan nifas masih boleh membaca Al Qur’an namun tidak
boleh menyentuhnya. Jika ingin menyentuhnya hendaknya menggunakan sarung
tangan dan pembatas lainnya. Sedangkan shalat dan puasa tidak boleh
dilakukan oleh wanita haidh dan nifas. Begitu pula dilarang untuk
thowaf. Adapun ibadah selain itu masih dibolehkan. Maka tidak perlu
khawatir untuk berdzikir dan membaca Al Qur’an (asal tidak menyentuhnya)
di masa haidh.
~ o ~
————————————————
…. Subhanallah wabihamdihi Subhanakallahumma Wabihamdika Asyhadu Allailaaha Illa Anta Astaghfiruka Wa atuubu Ilaik ….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar